CONTOH CERPEN BIKIN BAPER


AWAL DAN AKHIR
(Miftahuljannah.j)
“Aku kecewa sama kakak”
Rava berlari, berlari dan terus berlari, melewati setiap lorong dan koridor sekolah itu, menuju sebuah titik terang. Pintu keluar. Saat berada di halaman depan sekolah Rava mencari sebuah kendaraan yang lewat. Agar bisa pulang ke rumah, tanpa harus bertemu lagi dengan kak Fariq.
Hari itu semuanya menjadi berbeda. Rasa yang silih berganti menghantui setiap detik dan menit  hari-hari Rava menjadi anggukan pasti yang sulit di iya kan. Renjana yang masih tersisa di diri itu, tak mungkin lagi bertahan hingga batas waktu kehidupannya. Ketika seseorang yang sejak awal Rava percayai dengan keyakinan penuh, begitu mudahnya diruntuhkan dengan perkataan kasar darinya. Kak Fariq memang berbeda,  dia adalah kakak yang sangat Rava sayangi. Namun, bibir yang merah merona kak Fariq  sangat lihai dalam mengeluarkan untaian kalimat untuk dia persembahkan.
Kepercayaan yang tidak pernah Rava berikan kepada siapapun. Rava berikan. Namun, dibalas dengan sayatan luka dalam yang sulit ditinjak lanjuti, luka itu berada paling dalam diantara yang paling dalam. “Aku sadar, hal yang paling  sakit Aku rasakan adalah. Ketika saudara yang sejak kecil bersamaku, menjagaku, menyanyangiku, membantuku. Kini, menghardikku dengan begitu kasarnya. Tadi itu, dia bukan kakakku. Bukan. Bukaaaaaaannnnnnnn”.
***
Pagi akhirnya tiba dengan pancaran sinar matahari yang cerah dengan sapuan awan yang menutupinya, menghasilkan beberapa cahaya berbentuk garis yang menambah kesan keseimbangan dan berkesinambungan, bunga-bunga bermekaran indah setelah semalamam haru tertungkup, menutup dan tidak memperlihatkan mekarnya. Suara kicauan burung pagi menyambut dengan begitu girang serta udara yang segar memberikan kesejukan tersendiri sehingga menjadikannya butiran embun yang menentramkan.
Rava sudah siap, dilengkapi dengan seragam sekolah putih abu-abu ditambah sepatu kets yang menjadi style tersendirinya dan tidak lupa ia juga menggantungkan tasnya di punggung, sambil menuruni belasan anak tangga. Ia melihat orangtuanya bersama kakak satu-satunya sedang sarapan dan tersenyum ceria padanya. “Rava, ayo sini sayang, makan dulu”
“Iya, mama.” Kata Rava terburu-buru, beranjak menuju meja dan berdiri di sana. Belum saja duduk, cewek itu langsung mengulurkan tangan kepada mamanya dan mengambil sebuah roti selai kacang kesukaanya.
“Ehh, Rava kok buru-bur….” Belum saja kak Fariq selesai bicara, Rava lantas memotongnya dan berlari menuju pintu depan “Daah kak, Aku udah telat nih”
Setiap hari, Rava memang selalu seperti itu, ayah dan mama Rava sudah sangat mengenal kebiasaan anak bungsunya tersebut. Terkecuali kakak Rava, yaitu kak Fariq, yang selalu saja menjaga dan mengawasi Rava. Saat ini, kak Fariq sudah melanjutkan pendidikannya di sebuah Universitas Negeri dan sekarang sudah semester 3, membuat Rava jarang bertemu dengan abangnya itu, sapaan akrap Rava ketika kesal. Rava yang sekarang duduk di bangku kelas 2 SMA, menjadi perhatian khusus dari orangtua dan kakaknya.
***
“Hai, teman-teman..” sapa Rava dengan tersenyum sambil memperlihatkan beberapa giginya yang sangat tersusun rapi, putih dan bersih tanpa sedikit noda.  Sampai di kelas Rava hanya langsung menuju ke mejanya yang berada di tengah tepat berhadapan dengan papan tulis dan ketiga dari depan, sungguh meja Rava adalah tempat yang paling strategis dan paling nyaman di antara meja yang lainnya.
“Rava, kok kemarin kamu nggak pernah muncul di grup sih?”  tanya Devi salah seorang teman Rava, sekaligus teman terdekatnya, yaitu bersebelahan duduk.
“Biasalah, kamu tahu kan, Aku lagi nggak punya kuota?” Rava hanya memasang wajah seakan semuanya baik-baik saja “Emang ada apaan sih di grup? Awas yah jangan sampai di grup kalian malah gosipin Aku. Ayo jujur”.
“Ya, iyalah, mumpung kamu nggak aktif, kesempatan dong buat kita-kita ngegosipin kamu.” kata Sophia
“Enak aja kal..,” balas Rava, terpotong.
Kringggg….kring  (Saatnya jam pertama di mulai)
“Assalamu‘alaikum, anak-anak” sapa pak Tamrin
“Walaikumsalam pak” balas kompak seluruh siswa
“Langsung saja yah anak-anak, karena saat ini saya sedang sibuk dan sekarang buku juga belum ada, jadi kalian belajar sendiri dulu yah, tapi di kelas saja jangan ada yang berkeliaran, kalau ada yang saya dapat, saya akan hukum kalian satu kelas. Kalau begitu, saya pergi dulu yah anak-anak..” belum sempat kaki kiri pak Tamrin menginjak tegel, ia tiba-tiba tersentak, seolah-olah ada yang menahannya untuk keluar dari kelas ini dan dengan spontan ia memutar badannya 90 derajat menghadap kepada kami. “Oh iya, anak-anak bapak hampir lupa, untuk pembelajaran selanjutnya kita sudah harus punya buku, jadi kalian harus membeli secepatnya di toko buku, okee?”
“Iya, pak.” jawab serentak murid-murid dengan wajah yang lesuh.
Saat Rava ingin memasukkan buku sejarah kembali ke dalam tasnya, tiba-tiba Sophie menahannya, “Rava, entar kalau kamu mau ke toko buku, jangan lupa ajak aku yah.” nada  rendah senyum dan menggoda. “Iya, iya deh” jawab Rava
“Makasih Rava”.
***
Sampai di toko buku, Rava memulai ekspedisinya dengan mengitari setiap lorong yang ada di toko tersebut, berjalan melihat semua yang ada di tempat itu, mulai dari buku-bukunya, orang-orangnya sampai dengan kesejukannya. Toko buku itu memang sangat luas, nyaman dan juga bersih, ditambah sekarang sudah tersedia ruang baca, yah seperti perpustakaan, jadi semakin mudah untuk menambah wawasan tanpa harus merogoh biaya yang banyak.
“Rava Aku ke sana dulu yah” kata Sophie, dengan berjalan menuju ruang baca. Sementara Rava sedang berada di tempat buku-buku sejarah yang menjadi tempat favoritnya ketika berada di toko buku tersebut.
Setelah mendapat buku sejarah yang ditugaskan oleh pak Tamrin, Rava langsung mencari sebuah tumpuan untuk bisa dengan santai ia membaca. Dan tidak lama berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah kursi panjang yang bisa menampung 3-4 orang , bermaterial kayu dan cukup nyaman untuk bisa diduduki kala sedang bersantai. Setelah beberapa menit duduk sendiri dengan keheningan, tiba-tiba saja seorang lelaki mendekati Rava, lantunan kaki lelaki itu memberi hentakan yang disusul detakan jantung Rava, seolah grup band yang sedang berkolaborasi.
“Permisi, bisa saya duduk di sini?” tanya seorang lelaki yang terlihat asing bagi Rava
“Hmm, iya. Silakan.” jawab Rava dengan gugup mendingin
Setelah lama diam membeku satu sama lain, cowok itu mencoba meruntuhkan suasana dingin tersebut dengan beberapa pertanyaan. “Kamu suka baca buku sejarah yah?” tanya lelaki itu, sontak membuat Rava menjadi kurang nyaman. “Okee, biar kita agak santai ngobrolnya, kenalin nama Aku Datta..” dengan mengulurkan tangan menuju Rava yang sejak tadi merasa risih berada sangat dekat dengan sosok lelaki asing, yang tidak pernah ia temui sebelumnya.
Merasa tidak yakin menangkap uluran tangan lelaki itu, Rava dengan salah tingkahnya menjawab dengan terbata-bata “Na..nama Aku Rava”
“Mengenai pertanyaanku yang tadi, kamu beneran suka dengan sejarah?”
“Ohh… iya, Aku memang suka banget  sama sejarah.” sambil membuka lembaran selanjutnya dari buku tersebut.
“Kalau boleh tahu, di sejarah materi apa yang paling kamu suka?” tanya lelaki itu atau akrapnya Datta. “Maaf yah kalau Aku banyak tanya”.
“Nggak apa-apa kok, kalau materi sejarah yang paling Aku sukai itu kalau bercerita tentang perjuangan, seperti perjuangan para pahlawan untuk Indonesia.” sambil memperbaiki posisi duduk yang sejak tadi semakin menurun akibat permukaan kursi yang cukup licin. “Yang ada malah menurut Aku kisah tentang perjuangan di sejarah itu jauh lebih sedih dan menyentuh, daripada kisah yang ada di novel-novel yang bercerita tentang kisah cinta gitu” tambahnya.
“Hahahaha, kamu aneh juga.” dengan sebersit senyum yang menggoda.
Datta adalah cowok dengan senyum termanis, sama seperti Rava, Datta juga memiliki tekstur gigi yang sangat rapi, sehingga menambah poin plus saat ia tersenyum. Datta adalah cowok yang berperawakan tinggi, jika dibanding dengan Rava, mungkin hanya sebahu Datta. Datta memiliki rambut yang pendek dan lepek, seperti pada umumnya laki-laki, wajahnya yang tidak bulat juga tidak tirus menjadi sangat elegan, hidung yang tidak terlalu mancung dan bibir tipis memerah serta tahi lalat imut yang berada di pipi kirinya, tepat 3 jari dari matanya itu. Jika di lihat-lihat Datta hampir seusia dengan kakak Rava. Kak Fariq.
Kini, Rava yang mulai merasa nyaman, lebih santai berbicara dengan Datta. Yang sedari tadi gugup dan bingung harus menunjukkan respon bagaimana ketika ia ditanya lagi oleh Datta. “Kamu bisa ajah, lagi pula aku juga belum pernah tahu sih rasanya jatuh cinta dan patah hati” Rava menilik wajah Datta sambil menggigit bibir.
“Eh, kok aku malah curhat sih, pasti ni cowok bakalan berfikir kalo gue ngasih dia kode. Ya tuhan Aku kenapa sih kayak gini, Rava...Rava malu-maluin banget sih kamu.” batin Rava
Setelah melempar senyum yang malu-malu ke Datta, Rava jadi pangling dan mencoba untuk mengganti topik pembicaraan mereka. “Ah, masa sih cewek secantik kamu belum pernah pacaran, aneh yah anak zaman sekarang masih ada yang kayak gini, limited edition banget. Aku makin salut deh sama kamu” disertai lemparan senyum Datta yang membuat Rava semakin merasa deg-degan.
“Rava Aku tinggal dulu yah, sekarang udah jam 2 nih, 15 menit lagi dosen Aku bakalan masuk. Sampai ketemu lagi yah” sambil melangkah meninggalkan Rava.
“Kok, cepet banget sih perginya” sambil berjalan meninggalkan kursi itu untuk menuju ke ruang baca tempat dimana Sophie berada. “Oh, ternyata dia udah kuliah toh” tambah Rava, sambil memasang wajah manyun.
“Rava, kamu udah dapat bukunya?” tanya Sophie, saat Rava telah sampai di kursi tempat Sophie duduk. “Udah nih”
Sophie berdiri dari tempat sebelumnya dan mulai berjalan keluar bersama Rava untuk pulang. “Rava, cowok yang tadi siapa?” dengan rangkulan tangan kanan Sophie ke tangan kiri Rava yang menjadi rutinitas Sophie ketika berjalan bersama seseorang.
Mencoba melepas rangkulan Sophie, Rava menjawab tanpa piker panjang. “Cowok yang mana sih”
“Yaelah, nggak usah pura-pura nggak tahu kali, jelas-jelas tadi Aku lihat kamu duduk berdua sama cowok” balas Sophie
Sambil menggaruk tengkuk lehernya. “Apaansih, orang tadi nggak ada cowok kok”.
Oh My God, seorang rava yang jarang banget kenal cowok, sekarang udah bisa duduk berdua, mimik wajahnya Rava tadi malu-malu lagi. Apa coba kalau bukan…” cetus Sophie sambil menyenggol bahu Rava.
Rava yang semakin geram kepada Sophie lebih memilih jalan lebih dulu ketimbang menunggu Sophie, yang sejak tadi berbicara tanpa jeda iklan. Sophie yang terus-menerus tersenyum jahil kepadanya, mengganggu dan mengusiknya.
“Ciee, ada yang lagi ..” teriak Sophie yang sudah tidak diperdulikan lagi oleh Rava.
***
Sampai di rumah, Rava langsung naik ke kamarnya yang berada di lantai dua, sebelah kiri tangga dan dekat kamar kak Fariq. Seperti biasanya ketika sampai di kamar, Rava hanya langsung merebahkan badannya ke kasurnya tanpa harus mengganti pakaian seragam yang sedari tadi ia kenakan.
“Sepi-sepi gini enaknya dengar lagu” gumamnya.
Sambil tengkurap. Rava mengutak-atik handphonenya yang bermerk untuk membuka aplikasi musik dan mencari deretan lagu simpanannya, yang tidak pernah ia putar dan dengarkan selama ini. “Ahh, nggak menarik” kata Rava. Selepas Rava membalikkan badannya, Rava sontak mematikan musiknya dan beralih ke sesuatu yang jauh lebih menarik baginya. “Kok aku kepikiran sama kata-kata cowok tadi yah”.
Flashback on
“Nggak apa-apa kok, kalau materi sejarah yang paling Aku sukai itu kalau bercerita tentang perjuangan, seperti perjuangan para pahlawan untuk Indonesia”.  Sambil memperbaiki posisi duduk yang sejak tadi semakin menurun akibat permukaan kursi yang cukup licin. “Yang ada malah menurut Aku kisah tentang perjuangan di sejarah itu jauh lebih sedih dan menyentuh, daripada kisah yang ada di novel-novel yang bercerita tentang kisah cinta gitu” tambahnya.
“Hahahaha, kamu aneh juga.” dengan sebersit senyum yang menggoda.
***
“Kamu bisa ajah, lagi pula Aku juga belum pernah tahu sih rasanya jatuh cinta dan patah hati” Rava menilik wajah Datta sambil menggigit bibir.
“Eh, kok aku malah curhat sih, pasti ni cowok bakalan berfikir kalo gue ngasih dia kode. Ya tuhan Aku kenapa sih kayak gini, Rava...Rava malu-maluin banget sih kamu.” batin Rava
Setelah melempar senyum yang malu-malu ke Datta, Rava jadi pangling dan mencoba untuk mengganti topik pembicaraan mereka. “Ah, masa sih cewek secantik kamu belum pernah pacaran, aneh yah anak zaman sekarang masih ada yang kayak gini, limited edition banget. Aku makin salut deh sama kamu” disertai lemparan senyum Datta yang membuat Rava semakin merasa deg-degan.
“Rava Aku tinggal dulu yah, sekarang udah jam 2 nih, 15 menit lagi dosen Aku bakalan masuk. Sampai ketemu lagi yah” sambil melangkah meninggalkan Rava.
Flashback of
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara, suara yang mematahkan segalanya, suara yang menggetarkan jantung Rava, suara yang memalingkan pikiran Rava.
Tok..tokk..tokk…
“Rava, Va cepetan buka pintunya?” katanya keras sambil beberapa kali mencoba memutar gang pintu kamar Rava, yang terkunci.
“Iya kak, tunggu,” balas Rava menggerutu.
Rava berjalan menuju pintu, memutar kunci pintu itu searah jarum jam, dan krekkkttt..
“Aawww, kak..” gertak Rava, di saat yang bersamaan permukaan pintu itu melabrak wajah, terutama lahan jidat Rava, dengan bantuan gaya  tegak lurus dari kak Fariq.
“Heheheeh, maaf”  kata  kak Fariq tercengir, mengusap jidat Rava yang terlihat sedikit memar akibat hentakan dasyat tadi.
Rava yang terlihat kesal, menyambar tangan kak Fariq yang sedang mengusap jidatnya. “Udah, udah” sambil mengendipkan bahu sekali, menjauhkan bahu kananya dari hadapan kak Fariq. “Memangnya kenapa abang-abang ke sini?”.
Sergapan jari jempol dan telunjuk kak Fariq menuju Rava, tepatnya pada dua jurang kecil kanan dan kiri pipi Rava. “Yah, begini baru bagus” sambil tercengir mencoba menggerakaan rahang pipi Rava agar tersenyum. “Va, kamu bisa nggak temenin Aku? Bentar doang kok, paling jam 10-an kita udah balik ke rumah”.
What? Nggak ah, nggak, udah tadi Aku di jedotin ama pintu, terus sekarang mau panggil Aku buat temenin kakak. Nggak ya kak, nggak banget” balas Rava, sambil berjalan menuju sudut kamarnya, yang terpampang cermin berukuran sedang.
“Va, please, acara ini penting banget.” nada rendah kak Fariq, memohon.
Masih di hadapan cermin, Rava terus memperhatikan, memegang dan mengusap bulatan merah kebiruan itu di jidatnya. Sesekali Rava memalingkan tatapannya menuju kak Fariq, namun tetap saja Rava kekeh tidak mengiyakan permohonan kakaknya itu. “Va, Aku mohon. Acara ini penting banget. Kamu tinggal temani Aku saja” jelas kak Fariq.
“Haa..memangnya itu acara apa kak?” kata Rava, memperjelas.
“Itu, acara reunian di SMA Aku dulu, tapi harus bawa pasangan, terus aku sama siapa? Pasangan saja Aku nggak punya. Jadi, please ya Va, adik aku yang paling cantik, imut, kece, temenin Aku yah.” kata kak Fariq
“Yaudah sana, Aku mau ganti baju. Kok kakak tinggal.  Mau ditemani atau tidak? Ayo kak sana cepat nanti kita terlambat” dengan sigapnya Rava langsung mengangetkan kak Fariq “Serius Va?” kak Fariq mengangkat wajah, terkejut. “Iya, kak udah sana”
***
Ini adalah Aula SMA 3 Nusantara, tempat dimana kak Fariq dulu bersekolah, menyemai ilmu, dan someone special. Rava,kak Fariq dan beberapa teman kak Fariq lainnya sedang duduk bersama di sebuah meja bundar, dengan 8 kursi, tepat di hadapan panggung pentas, menyantap beberapa makanan berlemak serta minuman es teh yang terlihat seperti air hujan, tanpa warna. Ditambah rasa es teh manis itu hambar, membuat beberapa orang yang meminumnya sekali tegukan, berpikir dua kali untuk meneguk es teh manis yang tidak sesuai dengan namanya.
Rava yang dengan gelisahnya, memilih diam tanpa kata, dibanding harus ikut berbincang dengan para petua-petua itu. Terkadang, untuk membuatnya tidak seperti seorang patung tanpa gaya, ia menghelaikan beberapa rambutnya ke depan dan ke belakang, maju mundur, maju mundur, risih. Setelah rambut, ia akan memeriksa pakaiannya, minidress pink di malam hari menambah kesan mempesona dari seorang Rava.
“Tega banget kak Fariq, andai sejak awal Aku tahu pestanya seperti ini, Aku pasti nggak datang. Ini pesta atau apa. Bahkan, hiburannyapun membosankan, sajian makanan dan minumannyapun tidak menggugah, dan yang terpenting adalah Aku bagai obat nyamuk yang memberi perlindungan kepada orang-orang di sini agar mereka merasa nyaman, lantas aku hanya terus duduk diam mendengarkankan beberapa ocehan, lawakan, serta rayuan tidak penting mereka. Kak Fariq juga, katanya Aku di panggil ke sini buat temenin dia, seolah jadi pasangannya gitu. Eh, kok malah sampai di sini Aku di abaikan. Jadinya kah bikes, bikin kesel” kekesalan batin Rava, yang sejak tadi menggerutu ingin memuntahkannya, namun saat ingin termuntahkan, sontak saja mulut Rava seolah di bekap sehingga tidak jadi keluar.
“Kak Aku ke toilet dulu yah” kata Rava, beranjak dari kursi aluminium tersebut menuju pintu keluar yang berada di sudut kanan, tepi, pojok dari ruangan itu.
Rava yang baru saja keluar dari toilet, berjalan menuju Aula. Tapi, tiba-tiba saja tepat ditikungan lorong itu, rava tersentak, menghentikan langkah kakinya, tatapan nanar, kosong, menjadi satu resep. “Nggak mungkin”. Kemudian untuk mengalihkan pandangan tanpa arti tersebut, Rava mendongak, mengedipkan beberapa kali matanya, dan melangkahkan kakinya, mengendap-ngendip bagaikan orang yang tanpa arah.
Kesaksian mata Rava semakin klimaks, saat dengan nyata, lelaki bermata buas itu, dengan mudahnya membuat Rava berada dalam retina mata lelaki itu. “Datta..,” kata Rava menganga, seolah tidak yakin.
“Rava, kok kamu ada di sini?” kata Datta.
Dengan eksperesi yang masih menganga, mata yang berbinar. Membuat Datta bingung melihat kelakuan Rava. “Rava, kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa kan?” tanya Datta, memperjelas.
Rava yang menunduk menatapnya, mendadak sulit berkata-kata. “Eh, hehehee, iya aku nggak apa-apa kok” jawab Rava, menyengir.
“Hmm, terus kamu kenapa bisa ada di tempat ini?” tanya Datta, sambil sesekali mengangkat alis lebatnya itu.
Rava menunduk, memalingkan pandangannya, menelaah setiap kisi-kisi pintu di depan dan sampingnya. “Aku sedang menemani kakak Aku, untuk acara ini. By the way, kamu alumni sini juga?”.
“Oh, iya Aku alumni dari sini. Kamu tahu nggak Va, waktu awal Aku lihat kamu, Aku kira kamu lagi temenin pacar kamu, eh tahu-tahunya kakak. Tapi, malam ini kamu cantik deh, pakai gaun merah muda” Datta menatap serius Rava.
Rava menelan ludah dan memandag ke arah Datta, sesekali mendongak, sesekali menunduk dan sesekali Rava menjepitkan rambutnya ke belakang telinga. “kamu bisa aja”.
Mereka berdiri dalam keheningan yang canggung, beberapa kali mereka ingin mengungkapkan kalimat, namun lagi-lagi mereka hanya mampu saling berbalas senyum. Rava semakin mengerti, sesuatu yang berkaitan dengan cinta yang selama ini ia jauhi, dan tidak ingin ia rasakan, cukup indah.
“Va, kamu dari mana saja, toilet kok lama banget, kamu nggak apa-apa kan?” tanya kak Fariq yang tiba-tiba berada di hadapannya, tanpa sadar memotong sebuah perbincangan dingin seorang lelaki dan wanita.
“Iya kak, aku nggak apa-apa kok,”
Di saat yang bersamaan, kak Fariq membalikkan badan dan. “ Datta…., kenapa lo ada di sini, terus apa yang lo lakukan ke adik gue, lo mau jadikan dia korban selanjutnya lagi. Dasar Breng**k, apa loh, belum puas juga, sudah menyakiti Augus” gertak kak Fariq dengan nada suara tinggi. “Gue mau sekarang lo pergi dari sini. Lo dengar kata guekan, lo pergi dari sini, sekarang “ tambahnya, nada semakin tinggi.
“kak, kakak kenapa seperti itu sama Datta? Emangnya dia melakukan apa sama kakak?” kata Rava, dengan nanar.
“kamu kenal Datta dimana?” tanya kak Fariq
“Itu nggak penting. Yang penting itu, kenapa kakak seperti itu sama Datta?” balas Rava.
“Nggak apa-apa kok Va. Itu salah Aku. Makasih ya, Va untuk hari ini.  Hari yang begitu indah ini, Aku bahagia bisa kenal sama kamu. Kamu wanita yang berbeda, kuharap akan ada saat dimana kita bisa bertemu lagi. Bertemu dalam keadaan yang baik. Dan buat loh fariq, lo itu nggak tahu cerita yang sebenarnya. August, adalah seorang wanita yang tidak seharusnya kau lindungi apalagi kau cintai. Dia itu sangat licik, dia sengaja membuatmu terlarut dalam suasana yang dia buat, agar nantinya kamu akan terus mengejarnya. August melihat pertemanan kita yang baik, itulah sebabnya dia membuat kita runtuh. Sudah lama aku cari kamu Fariq, tapi kita tidak pernah bertemu. Dan kesempatan ini adalah saat dimana kamu harus tahu semuanya” kata Datta, memajukan kakinya satu langkah, lebih dekat dengan kak Fariq. “Kalau begitu, Aku pergi dulu, Aku tidak mengganggu kalian lagi. Aku janji” tambahnya.
“Datta.., jangan pergi.
 “Datta…Datta….” Isak tangis rava meluap di saat ia benar-benar sadar, hanya kesunyian yang bisa membalas teriakannya itu. Bahkan, kak Fariq hanya bias terdiam dalam kensuyian yang mematikan tersebut.
“Rava, mulai sekarang kamu jangan pernah, dekat ataupun ketemu dengan Datta lagi” cetus kak Fariq, mencengkram kedua lengan Rava. “Tapi, kenapa kak. Datta itu orang baik.” balas Rava, tidak yakin dan mengeryit kesakitan di cengkram oleh kak Fariq.
“Kalau Aku bilang nggak, yah nggak. Dia itu nggak baik. Bisa nggak sih Va, kamu tuh dengerin Aku” gertak keras kak Fariq. Dengan menambah kekuatan pada cengkraman kedua lengan Rava.
“Kak, kakak tega sama Rava” balas Rava. Bendungan yang telah dibangun Rava dengan sekuat mungkin, harus roboh. Membuat air yang tertampung itu meluap dan mengalir begitu deras. Tanpa henti. Ya, tanpa henti.
“Aku kecewa sama kakak”
Rava berlari, berlari dan terus berlari, melewati setiap lorong dan koridor sekolah itu, menuju sebuah titik terang. Pintu keluar. Saat berada di halaman depan sekolah Rava mencari sebuah kendaraan yang lewat. Agar bisa pulang ke rumah, tanpa harus bertemu lagi dengan kak Fariq.
Hari itu semuanya menjadi berbeda. Rasa yang silih berganti menghantui setiap detik dan menit  hari-hari Rava menjadi anggukan pasti yang sulit di iya kan. Renjana yang masih tersisa di diri itu, tak mungkin lagi bertahan hingga batas waktu kehidupannya. Ketika seseorang yang sejak awal Rava percayai dengan keyakinan penuh, begitu mudahnya diruntuhkan dengan perkataan kasar darinya. Kak Fariq memang berbeda,  dia adalah kakak yang sangat Rava sayangi. Namun, bibir yang merah merona kak Fariq  sangat lihai dalam mengeluarkan untaian kalimat untuk dia persembahkan.
Kepercayaan yang tidak pernah Rava berikan kepada siapapun. Rava berikan. Namun, dibalas dengan sayatan luka dalam yang sulit ditinjak lanjuti, luka itu berada paling dalam diantara yang paling dalam. “Aku sadar, hal yang paling  sakit Aku rasakan adalah. Ketika saudara yang sejak kecil bersamaku, menjagaku, menyanyangiku, membantuku. Kini, menghardikku dengan begitu kasarnya. Tadi itu, dia bukan kakakku. Bukan. Bukaaaaaaannnnnnnn”.
***
Ini baru pertama kalinya buat Cerpen, semoga ke depannya bisa membuat lagi. Saya juga minta kritik dan saran. Sebagai pemula pasti masih banyak kekurangan.
Terima Kasih.


Comments